Meluruskan Definisi Tentang Politik
Satu
pandangan bahwa politik itu kotor, bermula dari ideologi sekularisme yang
berpendapat bahwa agama itu harus dipisahkan dari kehidupan, khususnya dari
negara dan politik. Muncullah kemudian istilah agama itu sakral (suci) dan
politik profan (kotor).
Parahnya,sekularisme
yang muncul di Eropa itu dibawa oleh para penjajah Barat ke dunia Islam
sehingga para anteknya yang kemudian melanjutkan pemerintahan penjajah,
bersikap seperti mereka. Ini bisa kita lihat dari berbagai ucapan para pejabat
sipil dan militer sesaat setelah meletusnya peristiwa Tanjung Priok pada tahun
1984 yang kurang lebih kesimpulannya : "Rakyat harus waspada dari anasir
yang melakukan kegiatan politik dengan kedok agama" atau "Agama itu
suci jangan dicampuri dengan politik (baca: yang kotor)". Maka rakyat Indonesia yang
mayoritas muslim dan awam tentang politik maupun tentang agama Islam mereka,
terkesima dengan manuver politik yang dilancarkan oleh razim Orde Baru yang
sekuler terhadap Islam dan kaum muslimin. Belum puas dengan itu, pemerintahan
sekuler tersebut menyerang para aktivis Islam dengan istilah-istilah yang biasa
digunakan oleh penjajah Belanda dan para imperialis lainnya: ekstrimis,
fundamentalis, dan lain sebagainya. Jadilah akhirnya para ulama, dai, dan
muballigh yang bicara politik atau vokal terhadap pemerintah dijauhi oleh
masyarakat dan menjadi orang-orang yang tidak populer.
Maka
orang dianggap beragama secara benar kalau menjauhi politik. Orang-orang yang
bertaqwa pun lari dari gelanggang politik. Sehingga politik pun hanya tinggal
dihuni oleh orang-orang fasik, munafiq, dan kafir. Mereka-mereka yang jauh dari
agama Islam. Sehingga aktivitas politik mereka lebih merepresentasikan definisi
yang dibuat oleh para pakar politik Barat yang cenderung membatasi politik
hanya pada upaya merebut dan mempertahankan kekuasaan. Robson sebagaimana
dikutip Miriam Budiarjo (lihat Dasar-dasar Ilmu Plitik) mengatakan:
"&ldots;Fokus perhatian sarjana ilmu politik itu &ldots;tertuju
pada perjuangan untuk mencapai atau mempertahankan kekuasaan, melaksanakan
kekuasaan atau pengaruh atas orang lain, atau menentang pelaksanaan kekuasaan
itu". Tatkala para pelaku politik yang menjalankan definisi tersebut
adalah orang-orang yang fasik dan jahat, bahkan memiliki paradigma bahwa
politik itu sesuatu yang kotor, menganut paham Machiaveli, yakni tujuan
membolehkan segala cara, dan aktivitas politik itu tak ada hubungannya dengan
agama, aktivitas politik itu adalah aktivitas keduniaan yang tak bakal dimintai
pertanggungjawaban di akhirat, maka jadilah kubangan politik benar-benar lebih
kotor dari kubangan hewan-hewan ternak. Inilah atmosfir dunia politik yang
terjadi --sekalipun tidak sama persis-- pada saat orde lama, orde baru, dan astaghfirullah,
terjadi pula ada orde reformasi ini. Atmosfir yang tetap, sekalipun para
pelakunya telah berbeda.
Oleh
karena itu, definisi politik dan paradigmanya harus diluruskan, dikembalikan
kepada yang sebenarnya. Politik adalah aktivitas memelihara urusan rakyat (ri'ayatus
syu-unil ummah), baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dimana secara
praktis aktivitas pemeliharaan urusan tersebut dilaksanakan oleh negara
(pemegang urusan), sedangkan rakyat sekedar melakukan kontrol dan koreksi
(lihat Pemikiran Politik, Abdul Qadim Zallum) . Dengan demikian
paradigma politik adalah pemenuhan kebutuhan dan kemaslahatan rakyat, bukan
rebutan kekuasaan dan kenikmatan sambil melupakan penderitaan dan kesengsaraan
rakyat yang memilih mereka.
Dalam
perspektif tersebut, rakyat memilih para wakil umat yang benar-benar bisa
menjaga kemaslahatan rakyat baik di dalam maupun di luar negeri, bukan memilih
orang-orang yang justru mewakili pribadi tertentu, kelompok politik tertentu,
perusahaan tertentu, bahkan agen pihak asing tertentu. Rakyat memilih
orang-orang yang benar-benar memahami politik baik lokal maupun internasional
sehingga benar-benar bisa melindungi rakyat, bukan malah mengancam eksistensi
rakyat. Rakyat memilih orang yang benar-benar berani berkata benar, bukan
orang-orang yang berkolaborasi dengan para koruptor dan pengusaha nakal untuk
mengelabui dan mengkhianati rakyat. Rakyat benar-benar dididik dan dibina
kesadaran politk mereka, bukan dibikin bodoh dan dibodohi.
Jika
definisi dan paradigma politik ini yang digunakan, atmosfir politik tentu
terbebas dari polusi dan berbagai barang najis. Para
pejabat menjadi orang-orang yang jujur dan amanah dan para politisi menjadi
orang yang selalu berani berkata benar dan tak takut pada celaan orang-orang
yang mencela. Juga tak tunduk kepada rayuan para penyuap. Rakyat pun akan hidup
makmur, aman, sejahtera.
Pandangan Islam Tentang Poltik dan
Jabatan Kekuasaan
Definisi
politik di atas bisa berlaku umum untuk semua umat manusia. Yang membedakan
hanyalah ide-ide hukum apa yang mereka pakai dalam pemeliharaan urusan mereka.
Dalam
perspektif Islam, definisi politik yang lurus tersebut merupakan definisi yang
bersifat legal (ta'rif syar"i). Hal ini digali (istinbat)
dari sejumlah hadits yang berkaitan dengan aktivitas penguasa (al hakim),
kontrol dan koreksi terhadap penguasa (muhasabah lil hakim) dan
perhatian terhadap kemaslahatan kaum muslimin (al ihtimam limashaalihil
muslimin). Artinya umat Islam terikat secara hukum dengan definisi politik
yang lurus tersebut. Dalam Islam, penguasa tidak hanya menjadi orang yang
menerima nasihat dari rakyat dan para politisi, tapi bahkan mesti menasihati
rakyatnya—disamping tugasnya membagikan kesejahteraan dan menegakkan keadilan.
Nabi bersabda:
"Tidaklah seorang hamba, yang dikuasakan oleh Allah
untuk memelihara kemaslahatan rakyat, lalu dia tidak menasihati mereka, maka
hamba itu tidak akan menjumpai harumnya surga" (HR. Bukhari).
Dalam
perspektif Islam, penguasa atau pemegang urusan pemeliharaan rakyat (ulil
amri) adalah pihak yang wajib ditaati. Allah SWT berfirman:
"Wahai orang-rang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri dari antara kalian. Jika kalian berselisih
(dengan penguasa itu), maka kembalikanlah kepada Allah (Al Qur'an) dan kepada
Rasul-Nya (As Sunnah), jika kalian beriman kepada Allah dan hari
akhir&ldots;" (QS. An Nisa 59).
Nabi
Muhammad saw. pun bersabda:"Mendengar dan taat itu wajib bagi seorang
muslim, baik dalam perkara yang dia sukai maupun perkara yang tidak dia sukai,
selama dia tidak diperintahkan untuk berbuat maksiat. Apabila diperintah
berbuat maksiat, maka tidak usah dia mendengar dan tidak usah dia taat" (HR.
dari Ibnu Umar).
Dan
jabatan dalam pandangan Islam bukanlah sarana untuk menumpuk harta dan
kekuasaan, melainkan amanah yang apabila tidak bisa dilaksanakan akan membawa
kepada kesengsaraan dan kehinaan.
Khatimah
Jelaslah
bahwa pemeliharaan urusan umat haruslah menjadi perhatian semua kalangan dalam
berpolitik, jika ingin membebaskan politk dari segala perkara najis.
Islam
mengajarkan agar umat taat kepada pemegang urusan pemeliharaan umat (ulil
amri) selama tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Dan kemaksiatan
terbesar adalah, melupakan perintah dan larangan Allah SWT dalam melaksanakan
pemeliharaan urusan umat. Apalagi malah berpaling kepada ide-ide dan
hukum-hukum jahiliyyah semacam demokrasi, sekularisme, sosialisme, sukuisme dan
lain-lain.