Sabtu, 23 Januari 2016

BENARKAH POLITIK ITU NAJIS? ADAKAH POLITIK YANG BERSIH? BAGAIMANA ISLAM MANDANG POLITIK?

Meluruskan Definisi Tentang Politik

Satu pandangan bahwa politik itu kotor, bermula dari ideologi sekularisme yang berpendapat bahwa agama itu harus dipisahkan dari kehidupan, khususnya dari negara dan politik. Muncullah kemudian istilah agama itu sakral (suci) dan politik profan (kotor).
Parahnya,sekularisme yang muncul di Eropa itu dibawa oleh para penjajah Barat ke dunia Islam sehingga para anteknya yang kemudian melanjutkan pemerintahan penjajah, bersikap seperti mereka. Ini bisa kita lihat dari berbagai ucapan para pejabat sipil dan militer sesaat setelah meletusnya peristiwa Tanjung Priok pada tahun 1984 yang kurang lebih kesimpulannya : "Rakyat harus waspada dari anasir yang melakukan kegiatan politik dengan kedok agama" atau "Agama itu suci jangan dicampuri dengan politik (baca: yang kotor)". Maka rakyat Indonesia yang mayoritas muslim dan awam tentang politik maupun tentang agama Islam mereka, terkesima dengan manuver politik yang dilancarkan oleh razim Orde Baru yang sekuler terhadap Islam dan kaum muslimin. Belum puas dengan itu, pemerintahan sekuler tersebut menyerang para aktivis Islam dengan istilah-istilah yang biasa digunakan oleh penjajah Belanda dan para imperialis lainnya: ekstrimis, fundamentalis, dan lain sebagainya. Jadilah akhirnya para ulama, dai, dan muballigh yang bicara politik atau vokal terhadap pemerintah dijauhi oleh masyarakat dan menjadi orang-orang yang tidak populer.
Maka orang dianggap beragama secara benar kalau menjauhi politik. Orang-orang yang bertaqwa pun lari dari gelanggang politik. Sehingga politik pun hanya tinggal dihuni oleh orang-orang fasik, munafiq, dan kafir. Mereka-mereka yang jauh dari agama Islam. Sehingga aktivitas politik mereka lebih merepresentasikan definisi yang dibuat oleh para pakar politik Barat yang cenderung membatasi politik hanya pada upaya merebut dan mempertahankan kekuasaan. Robson sebagaimana dikutip Miriam Budiarjo (lihat Dasar-dasar Ilmu Plitik) mengatakan: "&ldots;Fokus perhatian sarjana ilmu politik itu &ldots;tertuju pada perjuangan untuk mencapai atau mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan atau pengaruh atas orang lain, atau menentang pelaksanaan kekuasaan itu". Tatkala para pelaku politik yang menjalankan definisi tersebut adalah orang-orang yang fasik dan jahat, bahkan memiliki paradigma bahwa politik itu sesuatu yang kotor, menganut paham Machiaveli, yakni tujuan membolehkan segala cara, dan aktivitas politik itu tak ada hubungannya dengan agama, aktivitas politik itu adalah aktivitas keduniaan yang tak bakal dimintai pertanggungjawaban di akhirat, maka jadilah kubangan politik benar-benar lebih kotor dari kubangan hewan-hewan ternak. Inilah atmosfir dunia politik yang terjadi --sekalipun tidak sama persis-- pada saat orde lama, orde baru, dan astaghfirullah, terjadi pula ada orde reformasi ini. Atmosfir yang tetap, sekalipun para pelakunya telah berbeda.
Oleh karena itu, definisi politik dan paradigmanya harus diluruskan, dikembalikan kepada yang sebenarnya. Politik adalah aktivitas memelihara urusan rakyat (ri'ayatus syu-unil ummah), baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dimana secara praktis aktivitas pemeliharaan urusan tersebut dilaksanakan oleh negara (pemegang urusan), sedangkan rakyat sekedar melakukan kontrol dan koreksi (lihat Pemikiran Politik, Abdul Qadim Zallum) . Dengan demikian paradigma politik adalah pemenuhan kebutuhan dan kemaslahatan rakyat, bukan rebutan kekuasaan dan kenikmatan sambil melupakan penderitaan dan kesengsaraan rakyat yang memilih mereka.
Dalam perspektif tersebut, rakyat memilih para wakil umat yang benar-benar bisa menjaga kemaslahatan rakyat baik di dalam maupun di luar negeri, bukan memilih orang-orang yang justru mewakili pribadi tertentu, kelompok politik tertentu, perusahaan tertentu, bahkan agen pihak asing tertentu. Rakyat memilih orang-orang yang benar-benar memahami politik baik lokal maupun internasional sehingga benar-benar bisa melindungi rakyat, bukan malah mengancam eksistensi rakyat. Rakyat memilih orang yang benar-benar berani berkata benar, bukan orang-orang yang berkolaborasi dengan para koruptor dan pengusaha nakal untuk mengelabui dan mengkhianati rakyat. Rakyat benar-benar dididik dan dibina kesadaran politk mereka, bukan dibikin bodoh dan dibodohi.
Para wakil rakyat bukanlah orang yang menaikkan dan menurunkan penguasa secara reguler atau setiap kali mereka mau. Para wakil rakyat adalah orang-orang yang mengajukan calon penguasa untuk dipilih oleh rakyat. Dan rakyat tidak perlu menghamburkan waktu dan dananya untuk pemilihan penguasa secara reguler. Penguasa diangkat untuk melksanakan kuasaan memelihara kemaslahatan rakyat. Jika penguasa itu secara riil dapat dirasakan oleh rakyat masih dalam kerangka melaksanakan pemeliharaan urusan rakyat, maka dia tidak perlu diganti. Dia bisa memegang amanah sampai akhir hayatnya. Sekalipun demikian, manakala dia melenceng dan tak mungkin diperbaiki, maka biar sebulan berkuasa, dia harus diadili dan dicabut dari kekuasaan.
Jika definisi dan paradigma politik ini yang digunakan, atmosfir politik tentu terbebas dari polusi dan berbagai barang najis. Para pejabat menjadi orang-orang yang jujur dan amanah dan para politisi menjadi orang yang selalu berani berkata benar dan tak takut pada celaan orang-orang yang mencela. Juga tak tunduk kepada rayuan para penyuap. Rakyat pun akan hidup makmur, aman, sejahtera.
 Pandangan Islam Tentang Poltik dan Jabatan Kekuasaan
Definisi politik di atas bisa berlaku umum untuk semua umat manusia. Yang membedakan hanyalah ide-ide hukum apa yang mereka pakai dalam pemeliharaan urusan mereka.
Dalam perspektif Islam, definisi politik yang lurus tersebut merupakan definisi yang bersifat legal (ta'rif syar"i). Hal ini digali (istinbat) dari sejumlah hadits yang berkaitan dengan aktivitas penguasa (al hakim), kontrol dan koreksi terhadap penguasa (muhasabah lil hakim) dan perhatian terhadap kemaslahatan kaum muslimin (al ihtimam limashaalihil muslimin). Artinya umat Islam terikat secara hukum dengan definisi politik yang lurus tersebut. Dalam Islam, penguasa tidak hanya menjadi orang yang menerima nasihat dari rakyat dan para politisi, tapi bahkan mesti menasihati rakyatnya—disamping tugasnya membagikan kesejahteraan dan menegakkan keadilan. Nabi bersabda:
"Tidaklah seorang hamba, yang dikuasakan oleh Allah untuk memelihara kemaslahatan rakyat, lalu dia tidak menasihati mereka, maka hamba itu tidak akan menjumpai harumnya surga" (HR. Bukhari).
Dalam perspektif Islam, penguasa atau pemegang urusan pemeliharaan rakyat (ulil amri) adalah pihak yang wajib ditaati. Allah SWT berfirman:
"Wahai orang-rang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri dari antara kalian. Jika kalian berselisih (dengan penguasa itu), maka kembalikanlah kepada Allah (Al Qur'an) dan kepada Rasul-Nya (As Sunnah), jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir&ldots;" (QS. An Nisa 59).
Nabi Muhammad saw. pun bersabda:"Mendengar dan taat itu wajib bagi seorang muslim, baik dalam perkara yang dia sukai maupun perkara yang tidak dia sukai, selama dia tidak diperintahkan untuk berbuat maksiat. Apabila diperintah berbuat maksiat, maka tidak usah dia mendengar dan tidak usah dia taat" (HR. dari Ibnu Umar).
Dan jabatan dalam pandangan Islam bukanlah sarana untuk menumpuk harta dan kekuasaan, melainkan amanah yang apabila tidak bisa dilaksanakan akan membawa kepada kesengsaraan dan kehinaan.

Khatimah
Jelaslah bahwa pemeliharaan urusan umat haruslah menjadi perhatian semua kalangan dalam berpolitik, jika ingin membebaskan politk dari segala perkara najis.

Islam mengajarkan agar umat taat kepada pemegang urusan pemeliharaan umat (ulil amri) selama tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Dan kemaksiatan terbesar adalah, melupakan perintah dan larangan Allah SWT dalam melaksanakan pemeliharaan urusan umat. Apalagi malah berpaling kepada ide-ide dan hukum-hukum jahiliyyah semacam demokrasi, sekularisme, sosialisme, sukuisme dan lain-lain.