Kamis, 11 Februari 2016

REORIENTASI PENDIDIKAN ANTIKORUPSI DALAM PERSPEKTIF PEMBELAJARAN BERBASIS PROBLEM BASED LEARNING




La Ode Muh. Yamin [1]


A.    Pendahuluan
Korupsi merupakan masalah paling krusial yang dihadapi oleh negara dan bangsa indonesia. Menyikapi masalah tersebut diperlukan suatu upaya yang holistik dalam pemberantasan korupsi baik dari segi aparat penegak hukum, kebijakan pengelolaan negara sampai pada pendidikan formal disekolah. Aditjondro (2002: 6) beberapa negara telah melaksanakan pendidikan antikorupsi disekolah dan telah menunjukkan hasil yang signifikan. Hongkong yang melaksanakan semenjak tahunn 1974 dan menunjukan hasil yang luar biasa.
Salah satu atribusi mendasar yang dapat menjelaskan tentang meluasnya perilaku dan sikap korupsi dalam realitas hidup masyarakat sehari-hari adalah kontribusi pendidikan nilai, moral, dan keagamaan yang minim terhadap pembentukan watak kemanusiaan peserta didik. Investasi kesadaran baru melalui pembentukan karakter (character building) atau melalui pendidikan afektif selain meniscayakan pembentukan kapasitas moral secara teoritik, tetapi juga harus dapat diinternalisasi menjadi sikap individual yang berbasis pada apek moral. Pada dasarnya, rendahnya moralitas dan mentalitas yang barakhir pada maraknya praktik korupsi di Indonesia disebabkan oleh kultur pendidikan yang masih menghasilkan pola dan mentalitas jalan pintas. Pendidikan tidak ditekankan pada pencapaian nilai dengan kerja keras, namun lebih sering ditentukan oleh hasil semata-mata.
Kritik-kritik utama yang tertuju pada dunia pendidikan selalu berkisar pada persoalan inovasi proses pembelajaran kelas yang terbatas pada model-model konvensional, yakni ceramah dan pemusatan materi pada level pengetahuan kognitif semata-mata. Tulisan ini akan memaparkan secara ringkas salah satu model pembelajaran yang berbeda dari model-model konvensional sebelumnya, yakni metode pembelajaran yang berbasis masalah (problem based learning) kaitannya dengan pendidikan antikorupsi
B.     Revitalisasi Model Pembelajaran Konvensional ke Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Model-model pembelajaran yang diterapkan oleh guru masih belum memberikan hasil yang maksimal/diharapkan bagi kompetensi siswa. Guru dituntut untuk selalu melakukan pembaharuan terhadap model-model pembelajaran yang lebih inovatif. Sebab itu, inovasi untuk mengembangkan model-model pembelajaran merupakan hal yang sangat penting bagi guru. Hal ini didasari oleh ditemukannya berbagai kasus bahwa motivasi dan minat siswa untuk mengikuti pelajaran masih sangat rendah sehingga penguasaan materipun juga sangat lambat. Anehnya Juga ditemukannya kasus siswa sering melakukan aktivitas mencuri baik didalam sekolah maupun diluar sekolah. Sehingga kita bisa menggeneralisasi bahwa model pembelajaran yang selama ini diterapkan oleh guru belum menghasilkan kebaikan pada karakter/akhlak siswa. Hal ini ketika dipertahankan maka akan memberikan dampak yang buruk bagi masa depan siswa, bisa jadi siswa tersebut ketika dewasa akan melakukan korupsi.
            Model pembelajaran konvensional yang diterapkan oleh guru belum bisa menghasilkan akhlak siswa yang baik, walaupun model pembelajaran konvensioal memiliki kelebihan. Menurut Rusyan (2011: 16) bahwa model pembelajaran konvensional memiliki kelebihan diantaranya: 1) berbagai informasi yang tidak mudah ditemukan ditempat lain; 2) menyampaikan informasi dengan cepat; 3) membangkitkan minat akan informasi; 4) mengejari siswa yang belajar terbaiknya dengan mendengarkan; 5) mudah digunakan dalam proses belajar mengajar.
Untuk menghasilkan siswa yang berakhlak yang baik diperlukan model pembelajaran yang mengarah pada hal tersebut, yaitu model pembelajaran berbasis masalah. Menurut Trianto (2007: 72) kelebihan model pembelajaran berbasis masalah adalah: 1) siswa dapat berpartisipasi aktif selama proses pembelajaran; 2) dapat menanamkan sikap rasa ingin tahu siswa; 3) melatih kemampuan berfikir siswa dalam memecahkan masalah; 4) menumbuhkan kerja sama dan interaksi antar siswa.
Dengan melihat kelebihan kedua model pembelajaran diatas, maka jelas model pembelajaran konvensional memilki banyak kelemahan. Dalam model pembelajaran ini siswa mejadi pasif dan hanya menerima apa yang disampaikan oleh guru dan siswa tidak dapat memecahkan masalah kehidupannya sendiri-sendiri. Sebaliknya, model pembelajaran berbasis masalah memiliki banyak kelebihan anatara lain siswa dapat menerapkan pengetahuannya kedalam kehidupannya sehari-hari seperti siswa dapat menyelesaikan masalahnya sendiri. Sehingga dengan adanya model pembelajaran berbasis masalah, pengetahuan tentang pendidikan antikorupsi (akhlak,karakter) dapat diterapkan kedalam kehidupan siswa.


C.    Integrasi Pendidikan Antikorupsi dalam Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Pendidikan antikorupsi adalah program pendidikan tentang korupsi yang bertujuan untuk membangun dan meningkatkan kepedulian warga negara terhadap bahaya dan akibat tindakan korupsi. Hal ini dinyatakan oleh Dharma (2003: 16) secara umum tujuan pendidikan antikorupsi adalah: 1) pembentukan pengetahuan dan pemahaman mengenai bentuk korupsi dan aspek-aspeknya; 2) pengubahan persepsi dan sikap tehadap korupsi; 3) pembentukan keterampilan dan kecakapan baru yang ditujukan untuk melawan korupsi. Dari ketiga tujuan itu dapat dilihat bahwa pendidikan antikorupsi meskipun mempunyai sasaran utama sebagai pendidikan nilai akan tetapi tetap meliputi ketiga ranah pendidikan sebagaimana dikemukakkan oleh Bloom yaitu pengembangan ranah kognitif, afektif dan psikomotor siswa.
Sedangkan, model pembalajaran berbasis masalah adalah model pembelajaran pada siswa yang dimana masalah menjadi topik utama yang harus dipecahkan oleh siswa. Menurut Yeung (Ismail, 200: 9) pembelajaran berbasis masalah adalah merupakan salah satu cara pembelajaran yang tidak hanya mendorong siswa untuk memahami lebih mendalam suatu materi tapi juga memberikan pengalaman pada siswa bagaimana menggunakan pengetahuan mereka untuk menyelesaikan permasalahan nyata.
Sehingga dengan mengetahui model pembelajaran berbasis masalah sebagai model pembelajaran yang menjadikan masalah sebagi topik yang harus dipecahakan maka perlu adanya integrasi pendidikan antikoupsi kedalam model pembelajara, mengingat pendidikan antikorupsi merupakan pendidikan yang menjadikan korupsi sebagai masalah yang harus dipecahkan dalam kehhidupan nyata. Dengan membuat contoh-contoh yang kreatif mengenai pendidikan antikorupsi pada model pembelajaran berbasis masalah maka memudahkan siswa untuk menerapkan contoh-contoh pendidikan antikorupsi seperti jujur, berbuat baik tehadap sesama teman dan lain sebagainya.

D.    Model Pembelajaran Berbasis Masalah sebagai Alternatif Model Pembelajaran Inovatif pada Pendidikan Antikorupsi
Model pembelajaran berbasis masalah merupakan pembelajaran yang menghadapkan siswa pada masalah dunia nyata (real world) untuk memahami konsep bukan sekedar menghapal konsep. Pembelajaran berbasis masalah tidak dirancang untuk membantu guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa. Dalam pembelajaran berbasis masalah, guru hanya berperan sebagai penyaji masalah, penanya, mengadakan dialog, pemberi fasilitas penelitian, menyiapkan dukungan dan dorongan yang dapat meningkatkan pertumbuhan inkuiri dan intelektual pada peserta didik. Pembelajaran berbasis masalah dikembangkan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah, dan keterampilan intelektual, belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi, dan menjadi pembelajar yang mandiri.
Model pembelajaran berbasis masalah menjadikan siswa memiliki kemampuan yang kreatif dan inovatif. Sejalan dengan pendapat Mutakin (2004: 45) bahwa kerja sama yang ada pada pembelajaran berbasis masalah akan memberikan siswa saling memotivasi untuk melakukan tugas gabungan dan memperbesar kesempatan untuk berbagi, keterangan, pengembangan berfikir, keahlian sosial dan dapat menumbuhkan kreatif dan inovasi siswa untuk memecahkan masalah yang dihadapi kelompoknya.
Penjelasan diatas memberikan pengetahuan bahwa model pembelajaran berbasis masalah dapat menumbuhkan inovasi dan kreatif siswa dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya dalam kehidupan nyata. Sehingga masalah karakter/akhlak dalam hal ini pendidikan antikorupsi, siswa kemudian mampu untuk berinovasi dan berkreatif dalam menyelesaikan masalah tentang korupsi.

E.     Penutup
Pendidikan antikorupsi merupakan kebijakan pendidikan yang tidak bisa lagi ditunda pelaksanaanya di sekolah secara formal. Jika dilaksanakan sebagaimana mestinya maka dalam jangka panjang pendidikan antikorupsi akan mampu berkontribusi terhadap upaya pencegahan terjadinya tindakan korupsi, sebagaimana pengalaman negara lain. Melalui pendidikan antikorupsi diharapkan generasi masa depan memiliki karakter antikorupsi sekaligus membebaskan negara Indonesia sebagai negara dengan angka korupsi yang tinggi.
Karakteristik dari pendidikan antikorupsi adalah perlunya sinergi yang tepat antara pemanfaatan informasi dan pengetahuan yang dimiliki dengan kemampuan untuk membuat pertimbangan pertimbangan moral. Oleh karena itu pembelajaran antikorupsi tidak dapat dilaksanakan secara konvensional, melainkan harus didisain sedemikian rupa sehingga aspek kognisi, afeksi dan konasi siswa mampu dikembangkan secara maksimal dan berkelanjutan.
Model pembelajaran berbasis masalah dapat membantu dalam meningkatkan kesadaran kolektif tentang dampak-dampak yang diakibatkan oleh tindakan korupsi dan membantu mereka untuk mendesain ulang cara belajar yang lebih berorientasi pada apa yang akan dipelajari oleh mereka sendiri secara mandiri. Kreatif , inovatif dan berkelompok.

  
DAFTAR PUSTAKA
Aditjondro, George Junus (2002) Bukan Persoalan Telur dan Ayam. Membangun suatu kerangka Analisis yang lebih Holistik bagi gerakan Anti Korupsi di Indonesia. Jurnal Wacana Edisi 14 Tahun 200.
Dharma, Budi. (2004). Korupsi dan Budaya. dalam Kompas, 25/10/2003.
Ismail. 2004. Model-Model Pembelaiaran. Jakarta: Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Jakarta Dirjen Dikdasmen Depdiknas.
Mutakin, Awan. 1998. Pengantar Ilmu Sosial. Jakarta: Depdikbud. Ditjen. Dikdasmen, Direktorat Pendidikan Guru dan Tenaga Teknis.
Rusyan . 2011. Pendekntan Dalam proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Roskadarya.
Trianto. 2007. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.





[1]   Mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi Pendidikan IPS UHO.

Sabtu, 23 Januari 2016

BENARKAH POLITIK ITU NAJIS? ADAKAH POLITIK YANG BERSIH? BAGAIMANA ISLAM MANDANG POLITIK?

Meluruskan Definisi Tentang Politik

Satu pandangan bahwa politik itu kotor, bermula dari ideologi sekularisme yang berpendapat bahwa agama itu harus dipisahkan dari kehidupan, khususnya dari negara dan politik. Muncullah kemudian istilah agama itu sakral (suci) dan politik profan (kotor).
Parahnya,sekularisme yang muncul di Eropa itu dibawa oleh para penjajah Barat ke dunia Islam sehingga para anteknya yang kemudian melanjutkan pemerintahan penjajah, bersikap seperti mereka. Ini bisa kita lihat dari berbagai ucapan para pejabat sipil dan militer sesaat setelah meletusnya peristiwa Tanjung Priok pada tahun 1984 yang kurang lebih kesimpulannya : "Rakyat harus waspada dari anasir yang melakukan kegiatan politik dengan kedok agama" atau "Agama itu suci jangan dicampuri dengan politik (baca: yang kotor)". Maka rakyat Indonesia yang mayoritas muslim dan awam tentang politik maupun tentang agama Islam mereka, terkesima dengan manuver politik yang dilancarkan oleh razim Orde Baru yang sekuler terhadap Islam dan kaum muslimin. Belum puas dengan itu, pemerintahan sekuler tersebut menyerang para aktivis Islam dengan istilah-istilah yang biasa digunakan oleh penjajah Belanda dan para imperialis lainnya: ekstrimis, fundamentalis, dan lain sebagainya. Jadilah akhirnya para ulama, dai, dan muballigh yang bicara politik atau vokal terhadap pemerintah dijauhi oleh masyarakat dan menjadi orang-orang yang tidak populer.
Maka orang dianggap beragama secara benar kalau menjauhi politik. Orang-orang yang bertaqwa pun lari dari gelanggang politik. Sehingga politik pun hanya tinggal dihuni oleh orang-orang fasik, munafiq, dan kafir. Mereka-mereka yang jauh dari agama Islam. Sehingga aktivitas politik mereka lebih merepresentasikan definisi yang dibuat oleh para pakar politik Barat yang cenderung membatasi politik hanya pada upaya merebut dan mempertahankan kekuasaan. Robson sebagaimana dikutip Miriam Budiarjo (lihat Dasar-dasar Ilmu Plitik) mengatakan: "&ldots;Fokus perhatian sarjana ilmu politik itu &ldots;tertuju pada perjuangan untuk mencapai atau mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan atau pengaruh atas orang lain, atau menentang pelaksanaan kekuasaan itu". Tatkala para pelaku politik yang menjalankan definisi tersebut adalah orang-orang yang fasik dan jahat, bahkan memiliki paradigma bahwa politik itu sesuatu yang kotor, menganut paham Machiaveli, yakni tujuan membolehkan segala cara, dan aktivitas politik itu tak ada hubungannya dengan agama, aktivitas politik itu adalah aktivitas keduniaan yang tak bakal dimintai pertanggungjawaban di akhirat, maka jadilah kubangan politik benar-benar lebih kotor dari kubangan hewan-hewan ternak. Inilah atmosfir dunia politik yang terjadi --sekalipun tidak sama persis-- pada saat orde lama, orde baru, dan astaghfirullah, terjadi pula ada orde reformasi ini. Atmosfir yang tetap, sekalipun para pelakunya telah berbeda.
Oleh karena itu, definisi politik dan paradigmanya harus diluruskan, dikembalikan kepada yang sebenarnya. Politik adalah aktivitas memelihara urusan rakyat (ri'ayatus syu-unil ummah), baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dimana secara praktis aktivitas pemeliharaan urusan tersebut dilaksanakan oleh negara (pemegang urusan), sedangkan rakyat sekedar melakukan kontrol dan koreksi (lihat Pemikiran Politik, Abdul Qadim Zallum) . Dengan demikian paradigma politik adalah pemenuhan kebutuhan dan kemaslahatan rakyat, bukan rebutan kekuasaan dan kenikmatan sambil melupakan penderitaan dan kesengsaraan rakyat yang memilih mereka.
Dalam perspektif tersebut, rakyat memilih para wakil umat yang benar-benar bisa menjaga kemaslahatan rakyat baik di dalam maupun di luar negeri, bukan memilih orang-orang yang justru mewakili pribadi tertentu, kelompok politik tertentu, perusahaan tertentu, bahkan agen pihak asing tertentu. Rakyat memilih orang-orang yang benar-benar memahami politik baik lokal maupun internasional sehingga benar-benar bisa melindungi rakyat, bukan malah mengancam eksistensi rakyat. Rakyat memilih orang yang benar-benar berani berkata benar, bukan orang-orang yang berkolaborasi dengan para koruptor dan pengusaha nakal untuk mengelabui dan mengkhianati rakyat. Rakyat benar-benar dididik dan dibina kesadaran politk mereka, bukan dibikin bodoh dan dibodohi.
Para wakil rakyat bukanlah orang yang menaikkan dan menurunkan penguasa secara reguler atau setiap kali mereka mau. Para wakil rakyat adalah orang-orang yang mengajukan calon penguasa untuk dipilih oleh rakyat. Dan rakyat tidak perlu menghamburkan waktu dan dananya untuk pemilihan penguasa secara reguler. Penguasa diangkat untuk melksanakan kuasaan memelihara kemaslahatan rakyat. Jika penguasa itu secara riil dapat dirasakan oleh rakyat masih dalam kerangka melaksanakan pemeliharaan urusan rakyat, maka dia tidak perlu diganti. Dia bisa memegang amanah sampai akhir hayatnya. Sekalipun demikian, manakala dia melenceng dan tak mungkin diperbaiki, maka biar sebulan berkuasa, dia harus diadili dan dicabut dari kekuasaan.
Jika definisi dan paradigma politik ini yang digunakan, atmosfir politik tentu terbebas dari polusi dan berbagai barang najis. Para pejabat menjadi orang-orang yang jujur dan amanah dan para politisi menjadi orang yang selalu berani berkata benar dan tak takut pada celaan orang-orang yang mencela. Juga tak tunduk kepada rayuan para penyuap. Rakyat pun akan hidup makmur, aman, sejahtera.
 Pandangan Islam Tentang Poltik dan Jabatan Kekuasaan
Definisi politik di atas bisa berlaku umum untuk semua umat manusia. Yang membedakan hanyalah ide-ide hukum apa yang mereka pakai dalam pemeliharaan urusan mereka.
Dalam perspektif Islam, definisi politik yang lurus tersebut merupakan definisi yang bersifat legal (ta'rif syar"i). Hal ini digali (istinbat) dari sejumlah hadits yang berkaitan dengan aktivitas penguasa (al hakim), kontrol dan koreksi terhadap penguasa (muhasabah lil hakim) dan perhatian terhadap kemaslahatan kaum muslimin (al ihtimam limashaalihil muslimin). Artinya umat Islam terikat secara hukum dengan definisi politik yang lurus tersebut. Dalam Islam, penguasa tidak hanya menjadi orang yang menerima nasihat dari rakyat dan para politisi, tapi bahkan mesti menasihati rakyatnya—disamping tugasnya membagikan kesejahteraan dan menegakkan keadilan. Nabi bersabda:
"Tidaklah seorang hamba, yang dikuasakan oleh Allah untuk memelihara kemaslahatan rakyat, lalu dia tidak menasihati mereka, maka hamba itu tidak akan menjumpai harumnya surga" (HR. Bukhari).
Dalam perspektif Islam, penguasa atau pemegang urusan pemeliharaan rakyat (ulil amri) adalah pihak yang wajib ditaati. Allah SWT berfirman:
"Wahai orang-rang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri dari antara kalian. Jika kalian berselisih (dengan penguasa itu), maka kembalikanlah kepada Allah (Al Qur'an) dan kepada Rasul-Nya (As Sunnah), jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir&ldots;" (QS. An Nisa 59).
Nabi Muhammad saw. pun bersabda:"Mendengar dan taat itu wajib bagi seorang muslim, baik dalam perkara yang dia sukai maupun perkara yang tidak dia sukai, selama dia tidak diperintahkan untuk berbuat maksiat. Apabila diperintah berbuat maksiat, maka tidak usah dia mendengar dan tidak usah dia taat" (HR. dari Ibnu Umar).
Dan jabatan dalam pandangan Islam bukanlah sarana untuk menumpuk harta dan kekuasaan, melainkan amanah yang apabila tidak bisa dilaksanakan akan membawa kepada kesengsaraan dan kehinaan.

Khatimah
Jelaslah bahwa pemeliharaan urusan umat haruslah menjadi perhatian semua kalangan dalam berpolitik, jika ingin membebaskan politk dari segala perkara najis.

Islam mengajarkan agar umat taat kepada pemegang urusan pemeliharaan umat (ulil amri) selama tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Dan kemaksiatan terbesar adalah, melupakan perintah dan larangan Allah SWT dalam melaksanakan pemeliharaan urusan umat. Apalagi malah berpaling kepada ide-ide dan hukum-hukum jahiliyyah semacam demokrasi, sekularisme, sosialisme, sukuisme dan lain-lain.

Senin, 28 Desember 2015

PANDUAN PENDAFTARAN BEASISWA BIDIKMISI 2016


Biaya Pendidikan Mahasiswa Miskin Berprestasi (Bidikmisi) adalah biaya pendidikan bagi mahasiswa berprestasi yang memiliki tingkatan keluarga yang kurang mampu. Tahun ini beasiswa Bidikmisi akan dibuka pendaftran secara online, seperti yang dilansir dari laman resmi Bidikmisi 2016, bidikmisi.dikti.go.id.
Ini Jadwal Pendaftaran Bidikmisi 2016.
  • Pendaftaran Sekolah dilaksanakan pada 15 Januari -1September.
  • Pendaftaran Siswa dilaksanakan pada 15 Januari – 1 September
  • Pendaftaran Bidikmisi PMDK-PN dilaksanakan pada 9 Februari – 8 Mei.
  • Pendaftaran Bidikmisi SNMPTN dilaksanakan pada 10 Februari – 12 Maret.
  • Pendaftaran Bidikmisi SBMPTN dilaksanakan pada 16 Maret – 3 Juni.
  • Pendaftaran Bidikmisi Jalur Mandiri PTN dilaksanakan pada 10 Februari – 1 September.
  • Pendaftaran Bidikmisi Jalur Mandiri PTS dilaksanakan pada 10 Februari – 1 September.
Bidikmisi terdiri dari beberapa jalur, diantaranya jalur SNMPTN, SBMPTN, PMDK-PN, Bidikmisi jalur mandiri Pergurun Tinggi Negeri dan Swasta. Berikut ini cara pendaftarannya:
1. Pendaftaran melalui SNMPTN 2016
-Sekolah melakukan pendaftaran Bidikmisi sebagai pemberi rekomendasi kepada siswa calon peserta Bidikmisi. Sekolah mendaftarkan diri sebagai instansi pemberi rekomendasi kepada pendaftar bidikmisi melalui laman bidikmisi.dikti.go.id dengan melampirkan hasil scan untuk mendapatkan nomor Kode Akses Sekolah.
  • Dirjen dikti akan memverifikasi pendaftaran dalam kurun waktu 1 x 24 jam.
  • Sekolah login ke bidikmisi.dikti.go.id menggunakan NPSN dan Kode Akses Sekolah untuk merekomendasikan masing-masing peserta Bidikmisi.
  • Sekolah memberikan nomor pendaftaran dan kode akses kepada masing masing siswa yang sudah direkomendasikan.
  • Siswa melakukan pendaftaran online Bidikmisi. Pendaftaran melalui situs resmi pendaftaran Bidikmisi siswa, yaitu http://bidikmisi.dikti.go.id. Siswa bisa login menggunakan nomor pendaftaran dan kode akses siswa.
2. Pendaftaran melalui SBMPTN 2016
  • Calon peserta penerima beasiswa Bidikmisi terlebih dahulu mempelajari prosedur pendaftaran melalui http://bidikmisi.dikti.go.id.
  • Selanjutnya, mendaftar melalui laman http://bidikmisi.dikti.go.id Kemudian cetak kartu tanda peserta Bidikmisi.
  • Calon peserta penerima beasiswa Bidikmisi yang dinyatakan memenuhi persyaratan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Ristek (Menristek) dan Pendidikan Tinggi akan memperoleh Kode Akses Pendaftaran (KAP) dan Personal Indentification Number (PIN) untuk mendaftar SBMPTN 2016 melalui laman http://pendaftaran.sbmptn.or.id , tanpa harus membayar biaya seleksi.
  • Calon peserta penerima beasiswa Bidikmisi yang telah dinyatakan lulus melalui SNMPTN dan berkeinginan untuk mendaftar SBMPTN, maka PIN yang telah diperoleh dinyatakan tidak berlaku dan yang bersangkutan harus membayar biaya seleksi dengan menggunakan KAP yang telah diperoleh sebelumnya.
3. Pendaftaran melalui PMDK-PN 2016
  • SMA/SMK/MA/MAK negeri maupun swasta, termasuk sekolah RI yang ada di luar negeri.
  • Sekolah terdaftar sebagai peserta Ujian Nasional (UN) 2016
  • Siswa SMA/SMK/MA/MAK kelas terakhir yang mengikuti UN pada tahun 2016.
  • Memiliki Nomor Induk Siswa Nasional (NISN).
  • Memperoleh rekomendasi dari Kepala Sekolah.
  • Memiliki prestasi akademik di sekolah setiap semester.
4. Pendaftaran melalui seleksi mandiri PTN dan PTS
Persyaratan pendaftaran sesuai dengan aturan PTN atau PTS masing-masing dengan cara mengunjungi situs web universitas tersebut.
Setelah menyelesaikan tahap pendaftaran online, kemudian mendaftar dan mengikuti seleksi Bidikmisi SNMPTN, Bidikmisi SBMPTN, Bidikmisi PMDK Politeknik, Bidikmisi jalur Mandiri PTN, atau Bidikmisi jalur Mandiri PTS. Selanjutnya melengkapi berkas yang akan dibawa pada saat melakukan pendaftaran ulang seleksi masuk. Berkas-berkas tersebut berupa :
  • Kartu peserta dan formulir pendaftaran program Bidikmisi yang dicetak dari sistem Bidikmisi
  • Surat keterangan lulus dari Kepala Sekolah.
  • Fotokopi rapor semester 1 (satu) s.d. 6 (enam) yang dilegalisir oleh Kepala Sekolah.
  • Fotokopi ijazah yang dilegalisir oleh Kepala Sekolah.
  • Fotokopi nilai ujian akhir nasional yang dilegalisir oleh Kepala Sekolah.
  • Surat keterangan tentang prestasi/peringkat siswa di kelas dan bukti pendukung prestasi lain di bidang ko-kurikuler dan ekstrakurikuler yang disahkan (legalisasi) oleh Kepala Sekolah.
    Kartu Pengaman Sosial (KPS/BSM). (jika merupakan penerima BSM).
  • Surat Keterangan Penghasilan Orang tua/wali atau Surat Keterangan Tidak Mampu yang dapat dibuktikan kebenarannya, yang dikeluarkan oleh Kepala desa/Kepala dusun/Instansi tempat orang tua bekerja/tokoh masyarakat.
  • Fotokopi Kartu Keluarga atau Surat Keterangan tentang susunan keluarga.
Fotokopi rekening listrik bulan terakhir (apabila tersedia aliran listrik) dan atau bukti pembayaran PBB (apabila mempunyai bukti pembayaran) dari orang tua/wali-nya.



SUMBER:
http://www.uhotimes.tk/2015/12/panduan-pendaftaran-beasiswa-bidikmisi.html

Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan: Idealisme, Realisme, Materialisme dan Pragmatisme

oleh:
La Ode Muh. Yamin  

A.    PENDAHULUAN
Dalam dunia pendidikan, filsafat mempunyai peranan yang sangat besar. Karena, filsafat yang merupakan pandangan hidup ikut menentukan arah dan tujuan proses pendidikan. Oleh karena itu, filsafat dan pendidikan mempunyai hubungan yang sangat erat. Sebab, pendidikan sendiri pada hakikatnya merupakan proses pewarisan nilai-nilai filsafat, yang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan yang lebih baik atau sempurna dari keadaan sebelumnya.
Dalam pendidikan diperlukan bidang filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan menurut Al-Syaibany (Sadulloh, 2003: 37) adalah pelaksanaan pandangan falsafah dan kaidah falsafah dalam pendidikan. Filsafat itu mencerminkan satu segi dari segi pelaksanaan falsafah umum dan menitikberatkan kepada pelaksanaan prinsip-prinsip dan kepercayaan-kepercayaan yang menjadi dasar dari falsafah umum dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan secara praktis. Sehingga kita dapat katakan bahwa filsafat pendidikan itu sendiri adalah ilmu yang mempelajari dan berusaha mengadakan penyelesaian terhadap masalah-masalah pendidikan yang bersifat filosofis. Jadi jika ada masalah atas pertanyaan-pertanyaan soal pendidikan yang bersifat filosofis, wewenang filsafat pendidikanlah untuk menjawab dan menyelesaikannya.
Secara filosofis, pendidikan adalah hasil dari peradaban suatu bangsa yang terus menerus dikembangkan berdasarkan cita-cita dan tujuan filsafat serta pandangan hidupnya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang melembaga di dalam masyarakatnya. Dengan demikian, muncullah filsafat pendidikan yang menjadi dasar bagaimana suatu bangsa itu berpikir, berperasaan, dan berkelakuan yang menentukan bentuk sikap hidupnya.
Ajaran filsafat pendidikan adalah hasil pemikiran sesorang atau beberapa ahli filsafat pendidikan tentang sesuatu secara fundamental. Dalam memecahkan suatu masalah terdapat perbedaan di dalam penggunaan cara pendekatan, hal ini melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang berbeda pula, walaupun masalah yang dihadapi sama. Perbedaan ini dapat disebabkan pula oleh factor-faktor lain seperti latar belakang pribadi para ahli tersebut, pengaruh zaman, kondisi dan alam pikiran manusia di suatu tempat. Dengan perbedaan-perbedaan tersebut para ahli menyusunnya dalam suatu sistematika dengan kategori tertentu, sehingga menghasilkan klasifikasi. Dari sinilah kemudian lahir apa yang disebut aliran filsafat pendidikan. Menurut Edward J.Power (Sadulloh, 2003: 98) aliran filsafat pendidikan terbagi menjadi  Aliran idealisme, realisme, humanisme religius-rasional, pragmatisme, eksistensialisme, merupakan pandangan dalam filsafat pendidikan yang berpengaruh dalam pengembangan pendidikan. Dalam makalah ini hanya membahas mengenai aliran idealisme, aliran realisme, aliran materialisme dan aliran pragmatisme.





B.     KONSEP ALIRAN IDEALISME
Idealisme berpandangan bahwa pengetahuan sebenarnya sudah berada dalam jiwa (mind) kita, tetapi membutuhkan usaha untuk dibawa pada tingkat kesadaran kita melalui suatu proses yang disebut intropoeksi. Jadi mengetahui adalah berfikir kembali tentang idea-idea terpendam yang ada di dalam jiwa kita. (Sadulloh, 2003: 27)
Inti yang terpenting dari ajaran ini adalah bahwa manusia menganggap ruh atau sukma lebih beharga dan lebih tinggi dibandingkan materi bagi kehidupan manusia. Ruh merupakan hakikat yang sebenarnya, sementara benda atau materi disebut sebagai penjelmaan dari ruh atau sukma (Akhmad, 2008: 1)
Konsep aliran idealisme berimplikasi terhadap konsep pendidikannya (Fajar, 2010: 1) yaitu:
Tujuan Pendidikan. Tujuan pendidikan adalah untuk membantu perkembangan pikiran dan diri pribadi (self) siswa. Sebab itu, sekolah hendaknya menekankan aktifitas aktifitas intelektual, pertimbangan-pertimbangan moral, pertimbangan-pertimbangan estetis, realisasi diri, kebebasan, tanggung jawab, dan pengendalian diri demi mencapai perkembangan pikiran dan diri pibadi.
Kurikulum Pendidikan. Demi mencapai tujuan pendidikan di atas, kurikulum pendidikan Idealisme berisikan pendidikan liberal dan pendidikan vokasional/praktis. Pendidikan liberal dimaksudkan untuk pengembangan kemampuan-kemampuan rasional dan moral, adapun pendidikan vokasional untuk pengebangan kemampuan suatu kehidupan/pekerjaan. Kurikulumnya diorganisasi menurut mata pelajaran dan berpusat pada materi pelajaran (subject matter centered).
Metode Pendidikan. Struktur dan atmosfir kelas hendaknya memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir, dan untuk menggunakan criteria penilaian moral dalam situasi-situasi kongkrit dalam konteks pelajaran. Metode mengajar hendaknya mendorong siswa memperluas cakrawala; mendorong berpikir reflektif; mendorong pilihan-pilihan moral pribadi, memberikan keterampilan-keterampilan berpikir logis; memberikan kesempatan menggunakan pengetahuan untuk masalah-masalah moral dan social.
Peranan Guru dan Siswa. Para filsuf Idealisme mempunyai harapan yang tinggi dari para guru. Guru harus unggul (excellent) agar menjadi teladan bagi para siswanya, baik secara moral maupun intelektual. Guru harus unggul dalam pengetahuan dan memahami kebutuhan-kebutuhan serta kemampuan-kemampuan para siswa; dan harus mendemonstrasikan keunggulan moral dalam keyakinan dan tingkah lakunya. Guru harus juga melatih berpikir kreatif dalam mengembangkan kesempatan bagi pikiran siswa untuk menemukan, menganalisis, memadukan, mensintesa, dan menciptakan aplikasiaplikasi pengetahuan untuk hidup dan berbuat.
C.    KONSEP ALIRAN REALISME
Tokoh realisme adalah Aristoteles (384 – 332 SM). Pada dasarnya aliran ini berpandangan bahwa hakekat realitas adalah fisik dan roh, jadi realitas adalah dualistik. Ada 3 golongan dalam realisme, yaitu realisme humanistik, realisme sosial, dan realisme yang bersifat ilmiah. Realisme humanistik menghendaki pemberian pengetahuan yang luas, ketajaman pengalaman, berfikir dan melatih ingatan. Realisme sosial berusaha mempersiapkan individu untuk hidup bermasyarakat. Realisme yang bersifat ilmiah atau realisme ilmu menekankan pada penyelidikan tentang alam. Francis Bacon (1561–1626) seorang tokoh realisme ilmu berpandangan bahwa alam harus dikuasai oleh manusia. Pandangannya tentang manusia ditentukan oleh kemampuan menggunakan pikirannya. (Sadulloh: 2003: 36)
Realisme adalah aliran filsafat yang memandang bahwa dunia materi diluar kesadaran ada sebagai suatu yang nyata dan penting untuk kita kenal dengan mempergunakan intelegensi. Objek indra adalah real, yaitu benda-benda ada, adanya itu terlepas dari kenyataan bahwa benda itu kita ketahui, atau kita persepsikan atau ada hubungannya dengan pikiran kita. Menurut realisme hakikat kebenaran itu barada pada kenyataan alam ini, bukan pada ide atau jiwa.
Aliran realisme juga memiliki implikasi terhadap dunia pendidikan (Fajar, 2010: 1) sebagai berikut:
Tujuan Pendidikan. Pendidikan pada dasarnya bertujuan agar para siswa dapat bertahan hidup di dunia yang bersifat alamiah, memperoleh keamanan dan hidup bahagia. Dengan jalan memberikan pengetahuan yang esensial kepada para siswa, maka mereka akan dapat bertahan hidup di dalam lingkungan alam dan sosialnya.
Kurikulum Pendidikan. Kurikulum sebaiknya meliputi: (1) sains/IPA dan matematika, (2) Ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu-ilmu sosial, serta (3) nilai nilai.
Sains dan matematika sangat dipentingkan. Keberadaan sains dan matematika dipertimbangkan sebagai lingkup yang sangat penting dalam belajar. Sebab, pengetahuan tentang alam memungkinkan umat manusia untuk dapat menyesuaikan diri serta tumbuh dan berkembang dalam lingkungan alamnya. Ilmu kemanusiaan tidak seharusnya diabaikan, sebab ilmu kemanusiaan diperlukan setiap individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Kurikulum hendaknya menekankan pengaruh lingkungan sosial terhadap kehidupan individu.
Metode Pendidikan. “Semua belajar tergantung pada pengalaman, baik pengalaman langsung maupun tidak langsung (seperti melalui membaca buku mengenai hasil pengalaman orang lain), kedua-duanya perlu disajikan kepada siswa. Metode penyajian hendaknya bersifat logis dan psikologis. Pembiasaan merupakan metode utama yang diterima oleh para filsuf Realisme yang merupakan penganut Behaviorisme (Edward J. Power). Metode mengajar yang disarankan para filosof Realisme bersifat otoriter. Guru mewajibkan para siswa untuk dapat menghafal, menjelaskan, dan membandingkan fakta-fakta; mengiterpretasi hubungan-hubungan, dan mengambil kesimpulan makna-makna baru.
Peranan Guru dan Siswa. Guru adalah pengelola kegiatan belajar-mengajar di dalam kelas (classroom is teacher-centered); guru adalah penentu materi pelajaran; guru harus menggunakan minat siswa yang berhubungan dengan mata pelajaran, dan membuat mata pelajaran sebagai sesuatu yang kongkrit untuk dialami siswa. Dengan demikian guru harus berperan sebagai “penguasa pengetahuan; menguasai keterampilan teknik-teknik mengajar; dengan kewenangan membentuk prestasi siswa”. Adapun siswa berperan untuk “menguasai pengetahuan yang diandalkan; siswa harus taat pada aturan dan berdisiplin, sebab aturan yang baik sangat diperlukan untuk belajar, disiplin mental dan moral dibutuhkan untuk berbagai tingkatan keutamaan” (Edward J. Power).
Pendidikan yang didasari oleh realisme bertujuan agar peserta didik menjadi manusia bijaksana secara intelektual yang dapat memiliki hubungan serasi dengan lingkungan fisik maupun sosial. Implikasi pandangan realisme adalah sebagai berikut:
1.      Tujuan pendidikannya membentuk individu yang dapat menyelesaikan diri dalam masyarakat dan memilki tanggung jawab pada masyarakat.
2.      Kedudukan peserta didik ialah memperoleh intruksi dan harus menguasai pengetahuan. Disiplin mental dan moral diperlukan dalam setiap jenjang pendidikan.
3.      Peran guru adalah menguasai materi, memiliki keterampilan dalam pedagogi untuk mencapai tujuan pendidikan.
4.      Kurikulum yang dikembangkan bersifat konfrehensif yaitu memuat semua pengetahuan yang penting. Kurikulum realis menghasilkan pengetahuan yang luas dan praktis.
5.      Metode yang dilaksanakan didasari oleh keyakinan bahwa senua pembelajaran tergantung pada pengalaman. Oleh karenanya pengalaman langsung dan bervariasi perlu dilaksanakan oleh peserta didik. Metode penyampaian harus logis dan didukung oleh pengetahuan psikologis.
(Sadulloh: 2003: 42)
D.    KONSEP MATERIALISME
Materialisme berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi, bukan rohani, bukan spiritual, atau supranatural. Demokritos (460-360 SM), merupakan pelopor pandangan materialisme klasik, yang disebut juga “atomisme”. 
Demokritos beserta pengikutnya beranggapan bahwa segala sesuatu terdiri dari bagian-bagian kecil yang tidak dapat dbagi-bagi lagi (yang disebut atom-atom). Atom-atom merupakan bagian dari yang terkecil sehingga mata kita tidak dapat melihatnya.
Menurut Randal dalam Sadulloh (2003: 49) bahwa karakteristik umum materialisme pada abad delapan belas berdasarkan pada suatu asumsi bahwa realitas dapat dikembangkan pada sifat-sifat yang sedang mengalami perubahan gerak dalam ruang. Asumsi tersebut menunjukkan bahwa:
1.      Semua sains seperti biologi, kimia, fisika, psikologi, sosiologi, ekonomi, dan yang lainnya ditinjau dari dasar fenomena materi yang berhubungan secara kausal (sebab akibat, jadi semua sains merupakan cabang dari sans mekanika.
2.      Apa yang dikatakan “jiwa” dan segala kegiatannya (berpikir, memahami) adalah merupakan suatu gerakan yang kompleks dari otak, sistem urat syaraf, atau organ-organ jasmani yang lainnya.
3.      Apa yang disebut dengan nilai dan cita-cita, makna dan tujuan hidup, keindahan dan kesenangan, serta kebebasan, hanyalah sekedar nama-nama atau semboyang.
Menurut Tohmas Hobbes (Fadliyanur, 2008: 1) Sebagai penganut empiris materialime, ia berpendapat bahwa pengalaman merupakan awal dari segala pengetahuan, juga awal pengetahuan tentang asas-asas yang diperoleh dan dikokohkan oleh pengalaman. Hanya pengalamanlah yang memberikan kepastian. Pengetahuan melalui akal hanya memiliki  fungsi mekanis semata, sebab pengenalan dengan akal mewujudkan suatu proses penjumlahan dan pengurangan.
Materialisme maupun positivisme pada dasarnya tidak menyusun konsep pendidikan secara eksplisit. Bahkan menurut Henderson (Agus, 2013: 1), Materialisme belum pernah menjadi penting dalam menentukan sumber teori pendidikan. Menurut Waini Rasyidin (Anjar, 2011: 1) filsafat positivisme sebagai cabang dari materialism lebih cenderung menganalisis hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi upaya dan hasil pendidikan secara factual. Memilih aliran positivisme berarti menolak filsafat pendidikan dan mengutamakan sains pendidikan.
Pendidikan dalam hal ini proses belajar merupakan proses kondisionaisasi lingkungan. Hal ini mengandung implikasi bahwa proses pendidikan (proses belajar) menekankan pentingnya keterampilan dan pengetahuan akademis yang empiris sebagai hasil kajian sains serta perilaku sosial sebagai hasil belajar (Fadliyanur, 2008: 1)
Menurut Power (Asmal, 2012: 29) mengemukakan beberapa implikasi pendidikan positivisem behaviorisme yang bersumber pada filsafat materialisme sebagai berikut
1.      Tema
Manusia yang baik efisien dihasilkan dengan proses pendidikan terkontrol secara ilmiah.
2.      Tujuan Pendidikan
Perubahan perilaku mempersiapkan manusia sesuai dengan kapasitasnya untuk tanggung jawab hidup social dan pribadi yang kompleks
3.      Kurikulum
Isi pendidikan mencakup pengetahuan yang dapat dipercaya (handal) dan organisasi selalu berhubungan dengan sasaran perilaku.
4.      Metode
Semua pelajaran dihasilkan dengan kondisionisasi pelajaran berprogram dan kompetensi.
5.      Kedudukan Siswa
Tidak ada kebebasan. Perilaku ditentukan oleh kekuatan dari luar. Pelajaran sudah dirancang. Siswa dipersiapkan untuk hidup. Mereka dituntut belajar.
6.      Peranan Guru
Guru memiliki kekuasaan untuk merancang dan mengontrol proses pendidikan. Guru dapat mengukur kualitas dan karakter hasil belajar siswa.
E.     KONSEP PRAGMATISME
Pandangan ini dapat dianggap sebagai kreasi filsafat yang berasal dari amerika. Pragmatisme dipengaruhi oleh pandangan empirisme, utilitarianisme dan positivisme. Para ahli yang mendukung timbulnya pragmatisme di Amerika adalah Charles Sanders Piere (1839–1914) yang mengembangkan kriteria pragmatisme yakni tidak menemukan kebenaran tetapi menemukan arti/kegunaan. William James (Sadulloh, 2003: 53) memperkenalkan bahwa pengetahuan yang bermanfaat adalah yang didasari oleh eksperimen (instrumentalisme). John Dewey (Sadulloh, 2003: 54)  mengarahkan pragmatisme sebagai filsafat sistematis Amerika dengan menyebarluaskan filsafat pada masyarakat amerika yang terdidik. Menurut Dewey misi filsafat adalah Kritis,  konstruktif dan rekonstruktif.
Pragmatisme menganggap bahwa suatu teori dapat dikatakan benar apabila teori itu bekerja. Menurut James  (Edwar, 2012: 1) kebenaran adalah sesuatu yang terjadi pada ide. Menurutnya kebenaran adalah sesuatu yang tidak statis dan tidak mutlak.
Adapun implikasi pragmatisme dalam pendidikan (Sadulloh: 2003: 56) adalah sebagai berikut:
1.      Tujuan pendidikannya menggunakan pengalaman sebagai alat menyelesaikan hal-hal baru dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan masyarakat.
2.      Kurikulum dirancang dengan menggunakan pengalaman yang telah diuji namun dapat diubah kalau diperlukan. Adapun minat dan kebutuhan peserta didik diperhitungkan dalam penyusunan kurikulum.
3.      Fungsi guru adalah mengarahkan pengalaman belajar perserta didik tanpa terlalu mencampuri minat dan kebutuhannya.
Sedangkan implikasi pragmatisme dalam pendidikan (Edwar, 2012: 1) adalah sebagai berikut:
1.      Tujuan Pendidikan
Filsuf paragmatisme berpendapat bahwa pendidikan harus mengajarkan seseorang tentang bagaimana berfikir dan menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Tujuan-tujuan pendidikan tersebut meliputi
a.       Kesehatan yang baik
b.      Keterapilan-keterampian dan kejujuran dalam bekerja
c.       Minat dan hobi untuk kehidupan yag menyenangkan
d.      Persiapan untuk menjadi orang tua
e.       Kemampuan untuk bertransaksi secara efektif dengan masalah-masalah social
2.      Kurikulum
Menurut para filsuf paragmatisme, tradisis demokrasi adalah tradisi memperbaiki diri sendiri (a self-correcting trdition). Pendidikan berfokus pada kehidupan yang baik pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Kurikilum pendidikan pragmatisme “berisi pengalaman-pengalaman yang telah teruji, yang sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa. Adapun kurikulum tersebut akan berubah”
3.      Metode Pendidikan
Ajaran pragmatisme lebih mengutamakan penggunaan metode pemecahan masalah (problem solving method) serta metode penyelidikan dan penemuan (inquiri and discovery method). Dalam praktiknya (mengajar), metode ini membutuhkan guru yang memiliki sifat pemberi kesempatan, bersahabat, seorang pembimbing, berpandangan terbuka, antusias, kreatif, sadar bermasyarakat, siap siaga, sabar, bekerjasama, dan bersungguh-sungguh agar belajar berdasarkan pengalaman dapat diaplikasikan oleh siswa dan apa yang dicita-citakan dapat tercapai.
4.      Peranan Guru dan Siswa
Dalam pembelajaran, peranan guru bukan “menuangkan” pengetahuanya kepada siswa. Setiap apa yang dipelajari oleh siswa haruslah sesuai dengan kebutuhan, minat dan masalah pribadinya. Pragmatisme menghendaki agar siswa dalam menghadapi suatu pemasalahan, hendaknya dapat merekonstruksi lingkungan untuk memecahkan kebutuhan yang dirasakannya.





F.     PENUTUP
Aliran-aliran filsafat pendidikan yang memiliki pengaruh terhadap pengembangan pendidikan antara lain idealisme, realisme, materialisme dan pragmatisme. Idealisme tujuan pendidikannya menekankan pada aktifitas intelektual, pertimbangan-pertimbangan moral, pertimbangan-pertimbangan estetis, kebebasan, tanggung jawab, dan pengendalian diri demi mencapai perkembangan pikiran dan diri pibadi. Realisme tujuan pendidikannya menekannkanb pada penyesuaian hidup dan tanggung jawab sosial. Materialisme tujuan pendidikannya menekannkan pada Perubahan perilaku mempersiapkan manusia sesuai dengan kapasitasnya untuk tanggung jawab hidup social dan pribadi yang kompleks. Sedangkan pragmatisme tujuan pendidikannya menekankan pada penggunaan pengalaman sebagai alat menyelesaikan hal-hal baru dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan masyarakat










DAFTAR PUSTAKA

Agus. 2013. Ideologi Materialisme dan Sekularisme. http://mamendo-agus-riyanto.blogspot.com/2013/01/ideologi-materialisme-sekulerisme-dan.html. (diakses 13 Oktober 2015).

Akhmad. 2008. Idealisme Dalam Filsafat Pendidikan. http://akhmadssudrajat.wordpress.com./2008/11/08/idealisme-dalam-filsafat-pendidikan.html. (diakses 13 oktober 2015).

Anjar. 2011. Filsafat Pendidikan Materialisme. http://Anjarthebigreds.Blogspot.Com/2011/12/Filsafat-Pendidikan-Materialisme.Html. (diakses 13 Oktober 2015).

Asmal, Bakhtiar. 2012. Filsafat ilmu. Jakarta: Rajawali Pers.
Edwar. 2012. Filsafat Pendidikan Pragmatisme. http://Assalaamu'alaikum-wr-wb.blogspot.com/2012/01/filsafat-pendidikan-pragmatisme.html. (diakses 13 Oktober 2015).

Fadliyanur. 2008. Aliran Pragmatisme.
Fajar, Kusuma. 2010. Pendidikan Menurut Aliran Filsafat Idealisme dan Realisme dan Implikasinya dalam Pendidikan Luar Sekolah. http://fajarkusuma.student.umm.ac.id/2010/02/05/pendidikan-menurut-aliran-filsafat-idealisme-dan-realisme-implikasinya-dalam-pendidikan-luar-sekolah%C2%0plsataukses. (diakases 13 Oktober 2015).

Sadulloh, uyoh. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung. Alfabeta.